Jumat, 24 Oktober 2008

Perspektif Kerukunan Hidup Umat Beragama Menurut Hindu

Oleh Drs. I Wayan Wirta

PENDAHULUAN

Kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk memungkinkan terjadinya gesekan antar umat beragama. Geseakan menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Seberapa jauh dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada tingkat kesadaran umat beragama.
Secara historis, kondisi kehidupan pada masa lampau telah terbina kearah terwujudnya kehidupan yang penuh toleransi, rukun dan damai antar penganut agama yang satu dengan yang lainnya.Antar Hindu dan Budha, suatu contoh kerukunan yang pernah terjadi dimasa lampau dalam bentuk sinkritisme konsep, yaitu luluhnya antara Siwa Siddhanta (dari Hindu) dan Budha Mahayana (dari agama Budha) di Jawa Timur. Penyatuan kedua konsep ini dikenal dengan nama “Siwa Budha”. Sampai saat ini masih banyak orang pada umumnya belum bisa membedakan antara hindu dan Budha, sebagai akibat pengalaman masa lampau.
Jalinan yang harmonis antara kedua konsep ini tertuang dalam cerita Bubuksah Gagangaking. Sampai pada puncaknya pada jaman Empu Tantular, dimana peleburan diantara kedua konsep itu tertuang dalam Lontar Sutasoma dengan petikan kalimat: Riweneka datu winuwus, siwa kelawan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana Dharma mangrua. Yang artinya: konon ceritanya dikatakan antara Hindu dan Budha berbeda, namun sesungguhnya satu. Tidak ada kebenaran yang mendua.

Menyimak ilustrasi diatas, menggambarkan ada semacam sinyal adanya tali perekat 6yang menyatukan antara konsep agama masing-masing yang sesungguhnya secara theologis berbeda. Namun dalam aspek penerapannya di masyarakat bisa menyatu, duduk berdampingan satu sama lain dalam melaksanakan aktivitas tertentu, terutama dalam aktivitas sosial. Sikap positif yang perlu ditumbuhkan di kalangan umat masing-masing, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur,sejahtera, gemah ripah lohjinawi salunglung sabayantaka, sehingga betul-betul menjadi kenyataan dalam hidup mengarah terwujudnya masyarakat yang madani.

KERUKUNAN MENURUT AJARAN HINDU

Dalam ajaran Kitab suci Veda, masalah kerukunan dijelaskan secara gamblang dalam ajaran: tattwam asi, karma phala, dan ahimsa.
Tatwam asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Antara saya dan kamu sesungguhnya bersaudara. Hakekat atman yang menjadikan hidup diantara saya dan kamu berasal dari satu sumber yaitu Tuhan. Atman yangb menghidupkan tubuh makhluk hidup merupakan percikan terkecil dari Tuhan. Kita sama-sama makhluk ciptaaan Tuhan. Sesungguhnya filsafat tattwam asi ini mengandung makna yang sangat dalam. Tatwam asi mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila diri kita sendiri tidak merasa senang disakiti apa bedanya dengan orang lain. Maka dari itu janganlah sekali-kali menyakiti hati orang lain. Dan sebaliknya bantulah orang lain sedapat mungkin kamu membantunya, karena sebenarnya semua tindakan kita juga untuk kita sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengnan baik, maka akan tyerwujud suatu kerukunan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma atma aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama.
Sebagai ilustrasi penerapan ajaran tattwam asi dicontohkan sebagai berikut: Bila kita menunjuk orang lain dengan menggunakan jari tangan, ternyata spontanitas hanya 2 (dua) jari saja menunjuk orang lain, selebihnya 3 (tiga) jari lainnya menunjuk pada diri kita sendiri. Kesimpulannya perbandingan prosentase menunjuk orang lain dan menunjuk diri sendiri (40:60 %), lebih besar prosentase yang ditujukan kepada diri sendiri. Berarti bila kita mengatakan orang lain jahat, sesungguhnya diri kita sendiri jauh lebih jahat dari orang lain yang kita tuduh berbuat kejahatan. Demikian juga sebaliknya, bila mengatakan baik kepada orang lain tentu diri kita lebih baik dari mereka. Lebih parah lagi bila menunjuk dalam keadaan kesal, dongkol, dan emosional tinggi tentu akan menunjuk orang lain dengan tangan dikepal, maka sepenuhnya (100%) jari tangan menunjuk/ mengalamatkan apa yang diucapkan itu tertuju pada diri sendiri. Pandangan ini mengkristal dalam upaya membina terwujudnya kerukunan hidup beragama yang berlandaskan pada prinsip kebenaran ajaran tattwam asi. Oleh karena itu, tiada alasan untuk menjelek-jelekkan/ menyakiti orang lain. Maka dari itu berbuat baiklah kepada orang lain/ agama lain, bahkan kepada semua makhluk hidup lainnya di muka bumi ini, tanpa terkecuali.
Ajaran tattwam asi mengajak setiap orang penganut agama untuk turut merasakan apa yang sedang dirasakan orang lain. Seseorang bila menyakiti orang lain sebenarnya ia telah bertindak menyakiti/menyikasa dirinya sendiri, dan sebaliknya bila telah membuat orang lain menjadi senang dan bahagia, maka sesungguhnya dirinya sendirilah yang ikut merasakan kebahagiaan itu juga.
Tattwam asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungan yang serasi atas dasar “asah, asih, asuh” di antara sesama hidup. “Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Jangnanlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab oprang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” (Sarasamuscaya 317).
Karma phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi. Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini. Apapun yang dilakukan sengaja maupun tidak sengaja akan menimbulkan dampak. “Setiap sebab akan membawa akibat. Segala sebab yang berupa perbuatan akan membawa akibat hasil perbuatan. Segala karma (perbuatan) akan mengakibatkan karma phala (hasil atau phala perbuatan). Hukum rantai sebab dan akibat perbuatan (karma) dan phala perbuatan (Karma phala) ini disebut Hukum Karma” (Panca Sradha, 2002;54). Jadi setiap akibat yang timbul tentu ada penyebabnya. Tidak mungkin ada akibat tanpa sebab. Demikian juga sebaliknya setiap perbuatan yang dilakukan sudah pasti akan menerima akibat, baik atau buruk, cepat maupun lambat mau tidak mau hasil akan selalu mengikutinya. Ini merupakan dalil yang logis, yaitu setiap sebab pasti menimbulkan akibat dan setiap akibat yang ada pasti ada penyebabnya. Antara sebab dan akibat tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, diibaratkan diri kita dengan bayangannya, bayangan akan selalu mengikuti kemanapun kita akan pergi.
Karma phala adalah merupakan sradha (keimanan) ke tiga Panca Sradha. Karma berarti perbuatan, dan phala berarti hasil/ buah. Perbuatan yang baik yang dilakukan akan mendatangkan hasil yang baik, demikian juga perbuatan yang buruk pasti akan mendatangakan hasil yang buruk pula. Batu dengan batu, atau kayu dengan kayu bila digosok-gosok menimbulkan akibat yaitu panas. Hukum ini berlakum pada semua makhluk hidup, lebih-lebih pada kehidupan manusia sebagai makhluk utama tidak perlu disangsikan lagi dampak yang akan ditimbulkannya, cuman waktu untuk menerima hasil perbuatan berbeda-beda, ada yang cepat dan ada pula yang lambat, dan bahkan bisa pula diterima dalam penjelmaan berikutnya. Oleh karena itu, berlandaskan pada keyakinan tersebut, dalam memupuk kerukunan hidup beragama senantiasa berbuat baik berlandaskan dharma. Yang dipuji adalah karma. Sesungguhnya yang menjadikan orang itu berkeadaan baik adalah perbuatannya yang baik, dan sebaliknya yang menjadikan orang berkeadaan buruk adalah perbuatannya yang buruk. Seseorang akan menjadi baik, hanya dengan berbuat kebaikan, seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya. “Subha asubha prawrtti yaitu baik buruk atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala dharma yang juga disebut subha karma akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir bathin” (Panca Sradha,2002:60).
Ahimsa juga merupakan landasan penerapan kerukunan hidup beragama. Ahimsa berarti tanpa kekerasan. Secara etimologi, ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya. “Ahimsa parama dharmah” adalah sebuah kalimat, sederhana namun mengandung makna mendalam. Tidak menyakiti adalah kebajikan yang utama atau dharma tertinggi. Hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan, karena sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, menteror, membakar dan lain sebagainya sangat bertentangan de4ngan ahimsa karma, termasuk menyakiti hati umat lain dengan niat yang tidak baik, atau dengan berkata-kata kasar, pedas dan mengumpat. Keutamaan ahimsa karena nilainya yang begitu tinggi sebagaimana yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat lainnya sebagai berikut: Ahimsaayah paro dharmah, ahimsaa laksano dharmah, ahimsaa parama tapa, ahimsaa parama satya, maksudnya: Ahimsa adalah kebajikan tertinggi, perbuatan dharma, pengendalian diri tertinggi dan kebenaran tertinggi).
Ahimsa adalah perjuangan tanpa kekerasan, termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum alam maka akan mengundang reaksi keras. Mereka harus belajar memelihara dan melindungi lingkungan sendiri, agar tercipta kehidupan yang harmonis dan selaras dengan lingkungannya sendiri. Jadi ahimsa, mengandung pengertian tidak melakukankekerasan dalam bentuk tidak membunuh-bunuh makhluk hidup apapun, ahimsa juga dimaksudkan tidak melakukan kekerasan agar tidak menyakiti hati orang lain. Bertentangan dengan ahimsa karma, perbuatan membunuh-bunuh adalah adharma, bertentangan dengan agama. Tan sayogya prihen, tidak pantas dilakukan oleh orang yang sedang mencoba mengamalkan ajaran dharma. “Ahimsa ngaranya tan pamati-mati sarwa prani, nguniweh janma manusa….” (Ahimsa berarti tidak membunuh-bunuh makhluk hidup, terlebih lagi manusia). Sebab dengan membiasakan dirimembunuh-buhuh binatang, hati orang menjadi keras. Lama kelamaan melihat pembunuhan manusia tidak akan merupakan hal yang aneh baginya. Darmayasa, Ahimsa dharma & vegetarian, 31). Karena sudah terbiasa dengan hidup kekerasan.
Bersahabat adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada manusia normal yamg tidak membutuhkan persahabatn. Ciri-ciri kemanusiaan seseorang baru akan nampak apabila dia berada di tengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam anjuran yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam pergaulan hidup. Kalau merasa diri kurang kuat, bersahabatlah dengan yang kuat, dengan demikian tidak akan ada rasa cemas. Jika ajaran brata ahimsa tidak dipelihara, maka ia akan menyebabkan berkembangnya sifat-sifat kemarahan, kebingungan, iri hati, dan bahkan dapat menumbuh suburnya hawa nafsu yang menggebu-gebu, sebagai musuh di dalam diri kita yang paling sulit diatasi.

PERSPEKTIF KERUKUNAN

Bagaimana pandangan (perspektif) kerukunan menurut ajaran Hindu ? menurut ajaran Hindu, dengan konsep kerukunan berupa ajaran tattwam asi, karma phala dan ahimsa sebagaimana diuraikan di atas, akan menjadi tali perekat yang sangat kuat mengarah terbinanya kerukunan beragama di Indonesia. Kerukunan sangat mutlak diperlukan di negara Indonesia yang kondisinya sangat majemuk/pluralistis dengan beraneka ragam agama yang ada. Justru dengan dasar negara Pancasila, sila 1 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, memungkinkan kehidupan beragama menjadi seamakin tumbuh subur, dan harmonis berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dan secara yuridis dengan pasal 29 (ayat 1 dan 2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur keberadaan agama di Indonesia. Ayat 1, mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk beragama, minimal menganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat 2, bahwa negara menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai hati naruni, tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap orang yang sudah beragama, serta adanya kebebasan dalam menjalankan ajaran agama sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Mengingat kebenaran agama adalah suatu kebenaran mutlak (bersumber pada wahyu Tuhan), yang ajarannya sepenuhnya didasarkan atas keyakinan/kepercayaan tersendiri, yang sudah barang tentu berbeda antara keyakinan agama yang satu dengan keyakinan agama lainnya, meskipun ada unsur-unsur persamaannya. Berdasarkan logika tersebut, wajarlah adanya perbedaan-perbedaan pandangan terhadap satu kebenaran antara agama yang satu dengan yang lainnya. Kita harus menghargai perbedaan-perbedaan tersebut ( disadari secara theologis memang berbeda), namun bagaimana kita mencari unsur-unsur persamaannya dijadikan sebagai tali perekat menjalin hubungan yang harmonis antara agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam aktivitas sosial diharapkan bisa menyatu duduk bersama di antara umat yang berbeda agama.
Dalam konsep ajaran Hindu, Rig Veda I.164.46 menjelaskan: “Ekam sat viprah bahuda vadanti”, yang artinya hanya satu Tuhan akan tetapi orang bijaksana mentebut dengan banyak nama. Hindu memandang tuhan yang satu, dapat disebutkan dengan banyak nama seperti: Agni, Yama, Matariswa dan lain-lain. Dalam kitab suci veda bahkan disebut ribuan nama tuhan (sahasra nama Brahman). Namun sesungguhnya tuhan hanya satu adanya. Tuhan yang satu itu dapat dipandang dari berbagai sudut.sehingga timbul bermacam-macam nama, sesuai sudut pandang masing-masing.
Dalam upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama melalui wadah FKPA yang sudah cukup gencar mengadakan dialog dan juga pertemuan/musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah. Melalui cara-cara seperti itu diharapkan semakain sering diadakan temu muka antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan satu sama lainnya membahas masalah kerukunan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama. Semua ini dapat terwujud hanya melalui terbinanya kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, kesadarn saling membutuhkan, saling melengkapi satu sama lainnya, niscaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud.
Kerukunan hidup beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Kerukunan perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga terwujudnya rasa persatuan dab kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka Tunggal ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan kondisi negara republik Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah pemuda.
Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity). Seperti halnya saebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat taman menjadi indah. Kita sebagai komponen bangsa Indonesia harus menyadarai kondisi yang demikian. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia berkat tergalangnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga kita mampu mewujudkan kemerdekaan.

KESIMPULAN

* terwujudnya kerukunan hidup beragama dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia mutlak diperlukan, karena kondisi masyarakatnya yang majemuk. Melalui wadah FKPA (Forum Komunikasi antar Pemuka Umat Agama) memungkinkan terakomodasi kepentingan semua umat beragama untuk berdialog.
* Konsep kerukunan hidup beragama menurut Hindu mencakup: ajaran tattwam asi, karma phala dan ahimsa. Tattwam asi mengajarkan kesosialan tanpa batas, menyadari hakekat dirinya bersumber dari yang satu yaitu Sanghyang Widhi Wasa berupa atman yang menghidupkan setiap tubuh makhluk hidup. Hukum karma phala memotivasi umat agar senantiasa berbuat baik kepada orang lain/umat beragama lain. Dan ahimsa menolak berbagai bentuk kekerasan yang akan dapat merusak terwujudnya sendi-sendi kerukunan antar umat beragama.
* Adapun upaya untuk membina kearah terwujudnya kerukunan hidup beragama dapat ditempuh dengan pendekatan secara manusiawi, melalui musyawarah, berdialog, temu muka antar pemuka agama, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran akan hidup bersama, saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

* Darmayasa, Ahimsa dharma & Vegetarian, Paramita Surabaya, 1997
* Kajeng, I Nyoman dkk, Sarasamuscaya, Paramita Surabaya, 1999
* Oka Punyatmadja, I B, Drs. Panca Sradha, Yayasan Dharma Sarathi, 2002
* Parisada hindu Dharma, Upadesa, CV. Felita Nursatama Lestari, Jakarta, 2002
* Pudja,G,MA,SH, Bhagawadgita pancama weda, Maya sari Jakarta, 1981
* Pudja,G,MA,SH & sadia W, BA, Rg Weda Mandala I, Cetakan I, 1978/1979
* Sdia Wayan, Drs. Panggilan Weda, Yayasan Dharma Sarati, jakarta, 1990
* Siwananda, Sri Swami, Intisari Ajaran Hindu, Paramita surabaya, 1993
* Titib, I Made, Veda Sabda Suci Pedoman praktis Kehidupan, Paramita Surabaya, 1996
* Yayasan Dharma Sarithi, Upanisad Utama, Jilid I

1 komentar:

  1. maaf sebelumnya. penjelasannya terlalu berlebihan, sehingga susah untuk di mengerti. saya sebagai pelajar menganggap susah untuk di mengerti dan d pahami. terlalu panjang lebar. makasi.

    BalasHapus

Komentarnya ya...!!!