Kamis, 06 November 2008

Kemajemukan Merupakan Kearifan Tuhan

Koran Tokoh – No. 509 Tahun IX, 12 – 18 Oktober 2008
Kemajemukan Merupakan Kearifan Tuhan
A.A.A. Ngr. Tini Rusmini Gorda

Man is born social being (manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial). Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tataran ini akan terjadi proses pembauran yang tidak mungkin dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi (Tuhan) yang Maha Pencipta tidak pernah menciptakan sesuatu yang sama. Makhluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai kemajemukan. Terlihat dan warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa, dan agama. Seseorang yang beragama Hindu, misalnya. pasti akan bergaul dengan orang beragama Iainnya. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi pluralistik terjadi dan dapat dipastikan semua agama mengakuinya.

Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama. Kondisi ini menyebabkan penilaian terhadap manusia cenderung menganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan ras, etnis, warna kulit, dan agama. Dalam hal ini kearifan Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah kemajemukan tersebut.

Hindu memberikan rujukan (sesuluh) dalam memaknai kemajemukan tersebut. Dalam Atharvaveda, XII.1 .45 dinyatakan: “Beberapa pengucapan bahasa yang berbedabeda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”.

Terungkap juga dalam Veda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat melihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dan kesedihan” (Yayurveda,40.7).
Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan masyarakat majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan. Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertentangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacauan atau kesemrawutan. Spiritualitas kearifan ini dalam din manusia, adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spiritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan. Adalah sangat arif pula para pendiri bangsa dan NKRI ini menetapkan nilai-nilai budaya yang adiluhung sebagai moto menyikapi kemajemukan bangsa Indonesia yakni, Bhinneka Tunggal Ika.

Dengan landasan berpikir dan pola tindakan tersebut kita mampu mewujudkan kedamaian dan keharmonisan hidup dalam suasana kemajemukan. Agar proses tersebut berjalan lancar dalam kelangsungan hidup, komunikasi harus terjadi dengan sehat. Dapat saling berapresiasi satu sama lainnya sehingga menimbulkan tenggang rasa dan lapang dada dalam memahami dan menyadari perbedaan.

Jika hal teresbut dapat kita ciptakan, maka gilinan benikutnya adalah bagaimana kita menyoisalisasikannya. Perlu juga disosialisasikan nilai-nilai universal antara lain:
1. Berlaku Adil. Jangan sampai karena berbeda agama ideologi, ras, atau suku bangsa membuat kita berlaku tidak adil satu sama lain.
2. Berlaku jujur. Sebagai pemeluk agama kita harus jujur pada siapa saja dan di mana saja.
3. Sopan Santun. Dalam pergaulan tidak mengenal dmnding pembatas, karena sopan santun adalah satu di antara ajaran agama yang bersifat universal.
4. Tolong Menolong. Ini merupakan suatu kebaikan dan semua agama mengajarkan pemeluknya senantiasa tolong-menolong dálam kebaikan sebagai bagian dari sikap toleransi.
5. Jangan saling Bermusuhan. Tiap manusia hendaknya jangan saling membenci, saling menghasut dan belakang-membelakangi, agar terwujud hidup rukun, bersahabat dan tidak saling bermusuhan.

Dengan memahami nilai-nilai universal tersebut, maka sudah waktunya merekonstruksi pemikmnan kita terhadap keberagaman dan kemasyarakatan selama ini. Yang terkesan simbolik atau basa-basi harus segera ditinggalkan, karena pada gilirannya akan menimbulkan sifat hipokrit atau munafik sosial. Sikap dan sifat arogansi kelompok, golongan, lebih dikenal dengan istilah diktator mayoritas dan tirani minoritas harus dikubur sedalam-dalamnya, karena akan mengancam masyarakat yang bertoleransi. Dengan bahasa sederhanaa kita hanus berani menekonstruksi pemikinan kita bahwa “Sesama kita adalah bersaudara. Tercipta karena Tuhan. Kemajemukan dikehendaki Tuhan”. Maka tidak sepantasnya manusia mempertentangkan masalah kemajemukan dalam keberagaman. •Penulis, dosen dan pengamat sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarnya ya...!!!